PUASA RAMADHAN BAGI "PEKERJA"
Oleh : Asep Saepul
Adha
“(yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( QS al-Baqarah [2] : 184)
Saya tiba-tiba
pengen menulis setelah membaca tulisan (satus) seorang teman di media sosial
facebook (tidak perlu saya sebutkan namanya) yang menulis sekitar ‘Pekerja
berat di Bulan Ramadhan’. Tulisan tersebut adalah sebagai berikut :
Puasa Ramadhan
merupakan rukun Islam yang keempat, oleh karenanya setiap orang islam yang
mukallaf (seseorang yang telah memenuhi beberapa kriteria untuk menyandang
kewajiban dari Allah sebagai konsekwensi dari beban taklif-nya) wajib
mengerjakannya. Namun walau hukumnya wajib, bila dalam keadaan tertentu maka
hukum rukhsah berlaku.
Kata rukhsah berasal dari bahasa Arab rakhuṣa (رخُص) yang maknanya “keringanan dan kemudahan.”
Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh, rukhsah adalah ketentuan yang disyariatkan karena keadaan sebab yang memperkenankannya untuk berbeda dari hukum asalnya.
Adapun rukhsah menurut Imam Ghazali adalah sesuatu yang dibolehkan kepada seorang mukallaf untuk melakukannya karena uzur atau ketidakmampuannya, padahal sesuatu itu diharamkan.
Dengan kata lain, rukhsah puasa adalah keringanan untuk tidak melaksanakan puasa karena suatu keadaan atau alasan tertentu. Akan tetapi, meskipun ada rukhsah dalam berpuasa, jangan dijadikan alasan meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan.
Mereka yang mendapatkan rukhsah berdasarkan ayat 184 surat Al Baqarah sebagaimana dilansir dalam kalam.sindonews.com, tulisan Miftah H. Yusufpati, yaitu
Pertama, orang yang sedang sakit (فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا). Kondisi sakit yang yang mendapat keringanan adalah sakit parah yang membahayakan tubuh, menambah parah penyakit, atau khawatir memperlambat kesembuhan.
Orang
ini yang oleh al-Qurthubi disebut sebagai orang yang mampu berpuasa namun
disertai dharar (bahaya) dan masyaqqah (kesulitan), maka lebih diutamakan untuk
berbuka.
Kedua, orang yang bepergian (musafir/أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ). Safar atau perjalanan yang dilakukan harus sebelum waktu fajar. Artinya, jika perjalanannya pada tengah hari, maka tidak mendapat rukhsah puasa.
Kemudian,
jarak perjalanan yang ditempuh untuk mengambil rukhsah puasa adalah jarak yang
sama dengan perjalanan yang boleh untuk qashar sholat. menurut Imam Syafi’i,
Malik, dan Ahmad adalah kurang lebih 16 farsakh/89 km.
Sementara Ibnu Katsir menegaskan bahwa orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqada puasa yang ditinggalkannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya
Orang tua renta (وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ), orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, serta perempuan hamil dan menyusui. Mereka tersebut menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad adalah orang yang masuk dalam kategori wa ‘alalladzina yuthiqunahu fidyatun (dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah).
Lantas bagaimana dengan pekerja berat (seperti yang ditulis teman FB di atas)
Mengutip pendapat ustaz Kusyairi yang juga pimpinan Pondok Pesantren YAPIDH Bekasi yang terdapat pada media Republika on-line yang diupload pada Senin 22 Mar 2021 08:47 WIB, beliau mengatakan bahwa "Pekerja berat seperti tukang bangunan dan kuli panggul, tukang becak dan lain-lainnya selama mereka memenuhi syarat tersebut, maka diwajibkan atas mereka berpuasa. Karena itu, para pekerja berat wajib berniat puasa sebelum subuh lalu menunaikan puasa, bahwa kalau kemudian dia merasa berat sekali dan tidak mampu melanjutkan puasanya karena pekerjaannya yang keras dan berat itu, maka boleh baginya berbuka dan tidak berpuasa, dan ini masuk dalam katagori kondisi darurat,"
Sementara Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan,
ويلزم أهل العمل المشق في
رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا.
ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل
ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو
قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر،
لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر
لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.
Artinya, “Ulama membagi tiga keadaan orang sakit. Pertama, kalau misalanya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa. Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya. Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah. Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in, Al-Ma’arif, Bandung, Tanpa Tahun, Halaman 189).
Merupakan suatu pembelajaran hidup yang luar biasa, manusia wajib berusaha untuk mengubah dirinya sendiri, namun tak akan bisa lepas dari campur tangan sebuah takdir.
BalasHapus